Berakhirnya Demokrasi Terpimpin berarti juga berakhirnya kekuasaan presiden Seokarno digantikan dengan Orde Baru dibawah kepemimpinan presiden Soehartno. Pergantian Peralihan kepemimpinan dari Soekarno kepada Soeharto, tidak terjadi begitu saja melalui proses yang mulus. Pada kurun waktu tahun 1965-1967 merupakan tahun-tahun yang penuh intrik dan ketegangan politik. Peristiwa dini hari tanggal 1 Oktober 1965 dapat dilukiskan sebagai percobaan kudeta yang gagal dari golongan kontra revolusioner yang menamakan dirinya Gerakan 30 September.
Tindakan-tindakan yang diambil oleh Jenderal Soeharto sejak Peristiwa 30 September 1965 sampai diangkat sebagai pejabat presiden pada tahun 1967, merupakan kudeta merangkak (creeping coup ). Proses kudetanya tidak langsung menghantam, melainkan secara perlahan. Bahkan setelah kekuasaan beralih, Soekarno masih berstatus sebagai presiden. Inilah dualisme kepemimpinan yang terjadi dalam kurun waktu peralihan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto.
Peristiwa 30 September 1965 menjadi titik awal bagi keruntuhan Soekarno dari panggung politik Indonesia. Peristiwa ini masih menyimpan misteri tentang pelaku dan pihak sebenarnya yang harus bertanggung jawab, namun titik awal inilah yang kemudian menghasilkan berbagai persepsi dan hasil studi menyangkut jatuhnya Presiden Soekarno sepanjang periode 1965-1967. Turunnya Soekarno dari kursi kepresidenan melahirkan suatu pemerintahan baru yang memiliki semangat untuk menegakkan Pancasila dan melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tekad inilah yang disebut sebagai Orde Baru dan melahirkan kepemimpinan baru yaitu Soeharto.
Tafsir atau peristiwa yang menjadi titik awal dimulainya peralihan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto, sebagaimana yang telah disebarluaskan kepada masyarakat selama 32 tahun tahun rezim Orde Baru berkuasa, cenderung merupakan penilaian tunggal dan bersifat indoktriner. Di samping itu, cukup banyak bahan sejarah dan saksi peristiwa tersebut yang akhirnya melahirkan pendapat yang beraneka ragam. Secara khusus mengenai pergantian kekuasaan negara dari Soekarno kepada Soeharto, telah memunculkan dugaan adanya kudeta yang dilakukan Soeharto terhadap Soekarno.
Terlihat jelas ketika pasca penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar/SP 11 Maret) 1966, benar-benar dimanfaatkan oleh Soeharto sebagai pengemban surat sakti, dengan mengambil kebijakan dan keputusan politik, seperti pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Padahal dictum dari Supersemar sendiri lebih menekankan pada penyerahan kekuasaan militer (dalam artian pengamanan jalannya pemerintahan) dan bukan sebagai penyerahan kekuasaan politik. Supersemar bukanlah transfer of authority (pengalihan kekuasaan) dari presiden Soekarno kepada Soeharto. Hal-hal inilah yang mengindikasikan adanya kudeta perlahan dalam proses peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto.
Klimaks dari segela permasalah berujung pada sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal 23 Februari 1967, Seokarno secara resmi menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada sidang MPRS tanggal 7-12 Maret 1967 memutuskan:
- Pidato Nawaksara berserta pelengkapnya tidak memenuhi harapan rakyat dikarenakan tidak secara jelas mengenai pemberontakan Gerakan 30 September.
- Presiden telah menyerahkan kekuasaaan kepada pengemban Supersemar
- Presiden telah melakukan kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan bagi Gerakan 30 September
Pada 12 Maret 1967, Seoharto akhirnya diambil sumpah dan dilantik sebagai presiden Republik Indonesia yang ke-2 berdesarkan ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar