Kamis, 20 September 2018

Perkembangan Politik Pada Masa Demokrasi Terpimpin

PERKEMBANGAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN SEMASA DEMOKRASI TERPIMPIN  



  • UUD 1945 tidak mengenal bentuk negara serikat dan hanya mengenal bentuk negara kesatuan sesuai dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
  • UUD 1945 tidak mengenal dualisme kepemimpinan (dua pimpinan) antara pimpinan pemerintah (perdana menteri) dan pimpinan negara (presiden).
  • UUD 1945 mencegah timbulnya liberalisme, baik dalam politik maupun ekonomi dan juga mencegah timbulnya kediktatoran.
  • UUD 1945 menjamin adanya pemerintahan yang stabil.
  • UUD 1945 menjadikan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dan dasar negara.
  • Bagaimana situasi politik dan ekonomi setelah 5 Juli 1959?
  • Perubahan perimbangan perwakilan golongan- golongan dalam DPR-GR memperkuat pengaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan-kegelisahan dalam masyarakat dan memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
  • DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang hanya mengiyakan saja, sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hokum dan demokrasi yang sehat.
  • Pembaruan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu adalah bertentangan dengan asas-asas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.
  • ada paksaan untuk menerima Manipol tanpa diberi waktu terlebih dulu untuk mempelajarinya;
  • ada paksaan untuk bekerja sama antara golongan nasionalis, agama, dan komunis.
  • Pancasila berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan PKI cenderung ateis.
  • Pancasila berasaskan Persatuan Indonesia, sedangkan PKI berdasarkan internasionalisme.
  • Pancasila berasaskan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, sedangkan komunisme berlandaskan pertentangan antarkelas.
  • UUD 1945
  • Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang terkenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”. Manifesto politik ini dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) berdasarkan Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960, tanggal 29 Januari 1960, dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/I/1960, tanggal 19 November 1960.
  • Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita”. Berdasarkan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 9 November 1960 menjadi “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia”.
  • Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 di muka Sidang Umum PBB yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”. Pidato ini ditetapkan sebagai “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik
  • Republik Indonesia” dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960, tanggal 19 November 1960. Kemudian berdasarkan Keputusan DPA No. 2/Kpts/Sd/61, tanggal 19 Januari 1961, dinyatakan sebagai “Garis-garis Besar Politik Luar Negeri Republik Indonesia” dan sebagai “Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik Luar Negeri Republik Indonesia”.
  • Tanggal 9–17 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara bertemu untuk membicarakan masalah pembentukan Federasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara, dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
  • 1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman (Malaya) mengadakan
  • pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan kesediaannya untuk membicarakan masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI dan Presiden Filipina, baik mengenai masalah-masalah yang menyangkut daerah Asia Tenggara maupun rencana pembentukan Federasi Malaysia.
  • Tanggal 7–11 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina bertemu di Manila untuk membicarakan persiapan rencana pertemuan 3 kepala pemerintahan.
  • Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani dokumen pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat negara Filipina dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia.
  • Tanggal 3 Juli – 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan Malaysia, Filipina, dan Indonesia mengadakan pertemuan di Manila.
  • Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi Malaysia diresmikan, tanpa menunggu hasil penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indonesia menuduh Malaysia telah melanggar DeklarasiBersama.
  • Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di Jakarta mengadakan demonstrasi di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut dibalas oleh masyarakat Malaysia dengan melakukan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia. Hubungan diplomatic antara Indonesia dan Malaysia putus pada tanggal 17 September 1963.

PERKEMBANGAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
SEMASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Masa Demokrasi Terpimpin
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat dukungan dari berbagai pihak. Kepala Staf Angkatan Darat mengeluarkan perintah harian bagi seluruh anggota TNI untuk melaksanakan dan mengumumkan dekrit tersebut. Mahkamah Agung membenarkan dekrit tersebut. DPR hasil pemilu pertama, pada tanggal 22 Juli 1959 menyatakan kesediaan untuk bekerja berdasarkan UUD 1945.
Negara Indonesia kembali kepada UUD 1945 dengan beberapa alasan sebagai berikut.
A. Situasi politik
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno melakukan tindakan politik untuk membentuk alat-alat negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, Presiden Soekarno mulai mencetuskan demokrasi terpimpin.
a. Pembentukan alat-alat negara
1. Pembentukan Kabinet Kerja
Dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945, mulai tanggal 10 Juli 1959 Kabinet Djuanda (Kabinet Karya) dibubarkan. Kemudian dibentuk kabinet baru. Dalam kabinet baru ini, Presiden Soekarno bertindak sebagai Perdana Menteri. Sementara itu, Djuanda ditunjuk sebagai Menteri Pertama. Kabinet baru ini diberi nama Kabinet Karya. Program Kabinet Kerja ada tiga, yaitu: keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, dan sandang dan pangan.
2. Pembentukan MPRS
Dalam dekrit presiden 5 Juli 1959 ditegaskan bahwa pembentukan MPRS akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Anggota MPRS terdiri dari anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan daerah-daerah dan golongan. Oleh karena itu, pembentukan majelis merupakan pemenuhan dekrit tersebut. MPRS merupakan pengganti Dewan Konstituante yang telah bubar. Anggota-anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. MPRS dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Anggota MPRS harus memenuhi syarat, antara lain: setuju kembali kepada UUD 1945, setia kepada perjuangan RI, dan setuju dengan Manifesto Politik. Keanggotaan MPRS menurut Penpres No. 2 Tahun
1959 terdiri atas: 261 orang anggota DPR; 94 orang utusan daerah; dan 200 orang golongan karya. Sedangkan tugas MPRS adalah menetapkan Garis- garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3. Pembentukan DPAS
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penpres No. 3 tahun 1959. DPAS ini bertugas memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. DPAS diketuai oleh Presiden dan beranggotakan 45 orang, terdiri atas: 12 orang wakil golongan politik, 8 orang utusan atau wakil daerah, 24 orang wakil dari golongan karya dan 1 orang wakil ketua.
4. DPR hasil pemilu 1955 tetap
DPR hasil Pemilu I tahun 1955 yang dibentuk berdasarkan UU No. 7 tahun 1953 tetap menjalankan tugasnya berdasarkan UUD 1945. DPR tersebut harus menyetujui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah sampai DPR yang baru tersusun.
b. Menegakkan demokrasi terpimpin
1. Penetapan Manipol sebagai GBHN
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno berpidato. Pidatonya diberi judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 dan merupakan kebijakan Presiden Soekarno pada umumnya dalam mencanangkan sistem demokrasi terpimpin. Pidato ini kemudian dikenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia” (Manipol). DPAS dalam sidangnya pada bulan September 1959 mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara dan dinamakan “Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)”.
Presiden Soekarno menerima baik usulan tersebut. Pada sidangnya tahun 1960, MPRS dengan ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 menetapkan Manifesto Politik menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketetapan tersebut juga memutuskan bahwa pidato Presiden Soekarno pada tanggal 7 Agustus 1960, yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” dan pidato di depan sidang Umum PBB yang berjudul “Membangun Dunia Kembali” (To Build the World a New) merupakan Pedoman-pedoman Pelaksanaan
Manifesto Politik. Dalam pidato pembukaan Kongres Pemuda di Bandung pada bulan Februari 1960, Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari Manipol ada lima. Lima intisari itu adalah UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).
2. Pembentukan DPR-GR
Pada tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno, karena menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Tidak lama kemudian  Presiden berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden mewakili golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Dalam upacara pelantikan tersebut, Presiden Soekarno menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada upacara pelantikan wakil-wakil ketua DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno menjelaskan kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS dan member sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS. Karena itu, pembentukan DPR-GR supaya ditangguhkan. Alasannya adalah sebagai berikut.
Tokoh-tokoh lain yang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan keberatan terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955. Misalnya, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Cokrohadisuryo (teman lama Presiden Soekarno dalam PNI). Di samping itu, juga muncul reaksi keras dari Masyumi dan PRI. Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia (PRI) lewat pengaduannya yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1960 dengan tegas menyatakan bahwa kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Pelanggaran yang dilakukan adalah membubarkan Parlemen Republik Indonesia hasil pilihan rakyat. Menurut Sutomo, tindakan pembubaran parlemen hasil pilihan rakyat merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Dikatakan sewenangwenang karena:
Reaksi-reaksi yang dilancarkan beberapa partai tersebut ditanggapi Presiden Soekarno dengan rencana membubarkan partai-partai tersebut. Rencana pembubaran partai-partai ditentang oleh PNI dan PKI sehingga Presiden Soekarno tidak jadi membubarkannya. Partai PNI dan PKI merupakan partai yang dekat dengan Presiden, maka suaranya didengarkan. Sedangkan Partai Masyumi dan PSI yang terlibat
pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 oleh Presiden Soekarno.
4. Kedudukan PKI semakin kuat
Di antara partai-partai yang ada, PKI merupakan partai yang menempati kedudukan istimewa
di dalam sistem Demokrasi Terpimpin. Di bawah pimpinan D. N. Aidit, dengan tegas PKI mendukung
konsepsi Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno yang berporoskan pada Nasakom. PKI berhasil
DPR-GR ternyata tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana tuntutan UUD 1945 karena anggotanya ditunjuk Presiden Soekarno. Mereka selalu tunduk terhadap keputusan Soekarno. DPR yang menurut UUD 1945 seharusnya sejajar dengan Presiden pada kenyataannya berada di bawah presiden. Bahkan, ketua DPR-GR berasal dari menteri yang menjadi bawahan Presiden.
3. Reaksi terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu 1955
Tindakan pembubaran DPR hasil Pemilu tersebut mendapat reaksi keras dari partai-partai. Pada bulan Maret tahun 1960, beberapa partai mendirikan Liga Demokrasi. Liga Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU. Anggota Liga Demokrasi terdiri dari beberapa tokoh partai politik seperti Masyumi, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin, PSI, dan IPKI. Mereka menyatakan bahwa kebijaksanaan Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu I serta pembentukan DPR-GR merupakan tindakan yang tidak tepat. Liga Demokrasi mengusulkan agar dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional.  Presiden Soekarno akan lemah terhadap PNI. Ikut sertanya PKI dalam kehidupan politik Indonesia berarti menduakan Pancasila dengan suatu ideology yang bertentangan. Letak pertentangannya adalah sebagai berikut.
Dengan cara mendekati Presiden Soekarno, kedudukan PKI semakin kuat. Manipol harus dipegang
teguh sebagai satu-satunya ajaran Revolusi Indonesia sehingga kedudukan Pancasila digeser oleh Manipol. Secara tegas, D.N. Aidit menyatakan bahwa Pancasila hanya dibutuhkan sebagai alat pemersatu. Kalau rakyat Indonesia sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Keadaan semacam ini menggelisahkan berbagai kalangan yang sepenuhnya meyakini Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup. Sekelompok wartawan yang mempunyai keyakinan kuat terhadap Pancasila membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dengan harapan agar Presiden Soekarno berpaling dari PKI dan menempatkan diri di pihak pembela Pancasila. Dukungan ini tidak diterima oleh Presiden Soekarno. Justru BPS dilarang kehadirannya. Di antara partai-partai yang masih berani meneror mental PKI adalah Partai Murba. Akan tetapi, akhirnya PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno untuk membubarkan Partai Murba. PKI juga berhasil menyusup ke dalam tubuh partai-partai dan beberapa organisasi lain yang ada pada waktu itu. Penyusupan PKI itu mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PNI pimpinan Ali Satroamijoyo disusupi tokoh PKI Ir. Surachman sehingga haluannya menjadi sejajar dengan PKI. Sedangkan, tokoh-tokoh marhaenis sejati malah dikeluarkan dengan dalih mereka adalah marhaenis gadungan. Mereka ini kemudian membentuk kepengurusan sendiri di bawah pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawijaya. Kemudian dikenal sebagai PNI Osa-Usep.
Satu-satunya kekuatan sosial politik terorganisasi yang mampu menghalangi PKI dalam usahanya merobohkan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila adalah TNI. Oleh karena itu, PKI memusatkan perhatiannya kepada TNI dari dalam. PKI membina kader-kader dan simpatisan-simpatisan di kalangan anggota TNI dengan cara menjelekjelekkan nama pimpinan TNI yang gigih membela Pancasila. Daerah-daerah, terutama yang banyak kader PKI-nya melancarkan aksi sepihak. Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai ormas PKI diperintahkan mengambil begitu saja tanah-tanah orang lain untuk kemudian dibagi-bagikan kepada anggotanya. Tindakan PKI ini tampaknya merupakan ujian bagi TNI yang berhadapan dengan massa. Di berbagai tempat terjadi pengeroyokan terhadap anggota TNI oleh massa PKI, misalnya di Boyolali. Tindakan PKI yang menelan banyak korban jiwa dan harta ini sementara masih ‘didiamkan’ oleh pemerintah. Karena merasa menang, PKI lebih meningkatkan aksinya. PKI menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan ke-5. Sebagian anggota angkatan ke-5 akan diambil dari PKI yang telah menjadi sukarelawan Dwikora. Usaha pembentukan Angkatan ke-5 ini sampai akhir masa demokrasi terpimpin dapat digagalkan oleh TNI, khususnya Angkatan Darat. Di samping itu, PKI juga menuntut dibentuknya Kabinet Nasakom yang harus mempunyai menteri-menteri dari PKI. Tuntutan ini sebagian dikabulkan oleh Presiden Soekarno dengan mengangkat pimpinan utama PKI seperti D. N. Aidit, Lukman, dan Nyoto menjadi menteri, walaupun tidak memegang departemen.
5. Pembentukan Front Nasional dan MPPR
Dalam rangka menegakkan demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno juga membentuk lembagalembaga lain. Selain MPRS, DPR-GR, DPAS, dan Kabinet, Presiden membentuk Front Nasional, Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR), dan Dewan Perancang Nasional (Depernas). Front Nasional dibentuk berdasarkan Penpres No. 13 Tahun 1959. Front Nasional adalah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional diketuai Presiden Soekarno. MPPR dibentuk berdasarkan Penpres No. 4 Tahun 1962 yang anggotanya bertugas membantu Presiden Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dalam mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat dalam menyelesaikan revolusi. Anggota MPPR adalah para menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen, angkatanangkatan, dan wakil dari organisasi Nasakom.
6. Penyimpangan dari UUD 1945
Pada masa demokrasi terpimpin, tampak bahwa Presiden Soekarno menjadi “pemimpin tunggal” dan sumber pedoman kehidupan bernegara. Konstitusi yang ada diabaikan. Oleh karena itu, terdapat kemungkinan terjadinya penyimpanganpenyimpangan terhadap konstitusi. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pada awalnya masyarakat Indonesia yakin bahwa dengan kembali kepada UUD 1945, bangsa dan negara Indonesia akan mengalami perubahan struktur politik yang lebih baik. Masyarakat yang telah lama hidup dalam kekacauan politik merindukan suatu masa yang diwarnai kehidupan politik berdasarkan konstitusi yang berlaku. Ketidakstabilan politik menghambat perkembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Ternyata harapan dan kerinduan masyarakat akan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen tidak terpenuhi. Meskipun secara tegas dalam dekrit dinyatakan bahwa bangsa Indonesia harus kembali kepada UUD 1945, kenyataanya masih terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya. Kebijakan Presiden Soekarno dalam penegakan demokrasi terpimpin banyak menyimpang dari UUD 1945. Menurut Presiden Soekarno, terpimpin berarti terpimpin secara “mutlak” oleh pribadinya.
Pada masa itu muncul sebutan Pemimpin Besar Revolusi. Hal itu untuk memperlihatkan bahwa Presiden Soekarno adalah pemimpin tunggal atau mutlak. Sedangkan, terpimpin menurut UUD 1945 artinya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang
dalam hal ini dipimpin oleh MPR. Menurut UUD 1945, presiden dipilih MPR sebagai mandataris MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan kata lain, kedudukan presiden ada di bawah MPR. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 pasal 6 ayat (2), yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”. Sedangkan, dalam demokrasi terpimpin, berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ditunjuk dan diangkat oleh presiden. Dengan demikian, lembaga tertinggi ini berada di bawah Presiden. Demikian juga dengan DPAS dan DPR-GR.
Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung diangkat menjadi menteri. Padahal, kedua jabatan tersebut menurut teori Trias Politica harus terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah ditempatkan di bawah presiden. Menurut UUD 1945 pasal 7: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya, dapat dipilih kembali”. Sedangkan, Sidang Umum MPRS tahun 1963 menetapkan bahwa Presiden Soekarno diangkat sebagai presiden seumur hidup. Keputusan itu dikukuhkan dengan Tap MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan MPRS tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945.
c. Politik luar negeri Indonesia
1. Landasan politik luar negeri Indonesia pada masa demokrasi terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin, ada 4 dokumen yang dijadikan sebagai landasan politik luar negeri Indonesia. Dokumen-dokumen itu adalah sebagai berikut.
2. Politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif
Pada masa demokrasi terpimpin, politik luar negeri yang dipraktikkan adalah politik luar negeri yang revolusioner. Dalam beberapa hal politik luar negeri Indonesia sarat konfrontasi karena masa itu oleh Pemerintah Presiden Soekarno dianggap sebagai masa konfrontasi. Diplomasi yang revolusioner, diplomasi yang konfrontatif, diplomasi perjuangan, diplomasi yang mau merombak dan menyusun suatu suasana dan perimbangan baru antara negara-negara dipakai sebagai alat politik luar negeri. Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established Forces) dan “Nefos” (New Emerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit (Nefos). Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme mengabdi Pada kekuatan lama. Saat pemerintah Indonesia menganut system demokrasi terpimpin, cita-cita politik luar negeri yang bebas-aktif tidak tercapai. Terjadi penyimpangan- penyimpangan. Negara Indonesia ternyata tidak bebas dari blok-blok negara lain, tetapi justru condong ke arah blok sosialis-komunis.
Karena politik luar negeri Indonesia bersifat konfrontatif, revolusioner dan cenderung berpihak ke blok timur, maka pergaulan Indonesia di dunia internasional menjadi semakin sempit. Berikut ini adalah beberapa kebijakan luar negeri yang dilakukan pemerintah pada masa demokrasi terpimpin.
􀂐 Memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda (17 Agustus 1960).
􀂐 Mengirim kontingen pasukan perdamaian (pasukan Garuda II) ke Kongo (10 September 1960).
􀂐 Indonesia ikut terlibat dalam Gerakan Non Blok (September 1961).
􀂐 Pembebasan Irian Jaya (1962).
􀂐 Konfrontasi dengan Malaysia (1963).
􀂐 Menyelenggarakan Ganefo I (Games of the New Emerging Forces) (1963).
􀂐 Indonesia keluar dari keanggotaan PBB (1964).
􀂐 Mempraktikkan politik luar negeri yang condong ke negara-negara sosialis-komunis (blok timur).
Indonesia membuka hubungan poros Jakarta—Peking (Indonesia—RRC) dan poros Jakarta—Pnom Penh—Hanoi—Peking— Pyongyang (Indonesia — Kamboja — Vietnam Utara—RRC—Korea Utara). Presiden Soekarno dengan politik mercusuarnya berpendapat bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia. Dengan politik mercusuar, Indonesia
mengambil posisi sebagai pelopor dalam memecahkan masalah-masalah internasional pada masa itu. Dengan demikian Indonesia akan diakui sebagai negara yang pantas diperhitungkan di Asia.
Pada praktiknya, politik mercusuar merugikan masyarakat secara nasional. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam masa demokrasi terpimpin, sistem politik yang diberlakukan juga menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
3. Konfrontasi dengan Malaysia
Rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris menimbulkan persoalan
baru bagi negara-negara yang berdampingan, misalnya Indonesia, Filipina, dan Malaya. Indonesia secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap pembentukan Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Inggris yang membahayakan revolusi Indonesia. Satu pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang Indonesia dan juga menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu, pembentukan federasi itu harus digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Perundingan dilaksanakan dari bulan April – September 1963. Berikut ini adalah rangkaian pertemuan ketiga negara yang membahas masalah pembentukan negara federasi Malaysia.
Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam Persetujuan Manila antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo diselidiki oleh otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau wakilnya.
Sejak itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada tanggal 3 Mei 1964, Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan kepala negara berpidato mengenai Dwikora. Isi pidato itu antara lain sebagai berikut.
Ø  Perhebat revolusi Indonesia.
Ø  Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia. Untuk menggagalkan pembentukan Negara Federasi Malaysia itu pemerintah melakukan beberapa tindakan, antara lain:
Ø  pemerintah mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia;
Ø  pembentukan sukarelawan yang terdiri dari ABRI dan masyarakat; dan
Ø  mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah Malaysia, melalui Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Angkatan Perang Persemakmuran Inggris
Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia membawa beberapa akibat berikut.
v  Timbulnya politik Poros Jakarta—Peking.
v  Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap Indonesia.
v  Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk biaya konfrontasi.
4. Indonesia keluar dari PBB
Dalam situasi konflik Indonesia—Malaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Menanggapi pencalonan Malaysia tersebut, Presiden Soekarno pada tanggal 31 Desember 1964 menyatakan ketidaksetujuannya. Kalau PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, Indonesia mengancam akan keluar dari PBB. Keberatan Indonesia itu disampaikan oleh Kepala Perutusan Tetap RI di PBB kepada Sekertaris Jenderal PBB, U Thant. Ancaman Indonesia tidak mendapatkan tempat di PBB. Pada tanggal 7 Januari 1965, Malaysia diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Keputusan PBB ini membuat Indonesia menyatakan diri keluar dari PBB. Indonesia tidak menjadi
anggota PBB lagi. Keluar dari PBB juga berarti keluar dari keanggotaan badan-badan PBB, khususnya UNESCO, UNICEF, dan FAO. Pernyataan resmi keluarnya pihak Indonesia dari PBB disampaikan melalui Surat Menteri Luar Negeri, Dr. Subandrio, tertanggal 20 Januari 1965. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa Indonesia keluar dari PBB secara resmi pada tanggal 1 Januari 1965. Jadi, alasan utama Indonesia keluar dari PBB adalah karena terpilihnya Malaysia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
B. Keadaan ekonomi
a. Dalam bidang pembangunan
Dalam bidang pembangunan, pemerintah pada tahun 1958 mengeluarkan undang-undang pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas), yakni UU No. 80 tahun 1958. Tugas Dewan Perancang Nasional adalah mempersiapkan rancangan undang-undang pembangunan nasional yang berencana dan menilai penyelenggaraan pembangunan itu. Dewan yang beranggotakan 80 orang wakil golongan masyarakat dan daerah ini semula dipimpin oleh Muhammad Yamin. Pada tanggal 26 Juli 1960, dewan ini berhasil menyusun “Rancangan Dasar Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961 – 1969” yang kemudian disetujui MPRS melalui Tap No. 2/MPRS/1960. Pada tahun 1963, Depernas diganti namanya menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas). Bappenas dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Badan ini bertugas untuk menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahunan, baik nasional maupun daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan, menyiapkan dan menilai Mandataris untuk MPRS.
b. Dalam bidang ekonomi–keuangan
Pada masa demokrasi terpimpin keadaan ekonomi Indonesia bisa dikatakan terpuruk dan sangat buruk. Tingkat inflasi sangat tinggi. Untuk mengatasi inflasi dan mencapai keseimbangan dan kemantapan
keadaan keuangan negara (moneter), pemerintah melakukan beberapa tindakan sebagai berikut.
Ø  Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 tahun 1959 yang mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan ini dikeluarkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar. Untuk itu nilai uang kertas pecahan Rp. 500 dan Rp 1000 yang beredar saat itu diturunkan masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100.
Ø  Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 3 tahun 1959 Tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank. Tujuannya untuk mengurangi banyaknya uang dalam peredaran.
Ø  Mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.6 tahun 1959. Peraturan ini berisi tentang ketentuan bahwa bagian uang lembaran Rp 1000 dan Rp 500 yang masih berlaku (yang sekarang bernilai Rp 100 dan Rp 50) harus ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum tanggal 1 Januari 1960.
Ø  Menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang usaha-usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan.
Meskipun sudah melakukan tindakan-tindakan di atas, pemerintah gagal. Uang yang beredar semakin meningkat, sehingga inflasi juga semakin tinggi. Kenaikan jumlah uang yang beredar ini juga disebabkan
tindakan pemerintah yang mengeluarkan uang rupiah baru pada tanggal 13 Desember 1965.
Tindakan ini didasarkan pada Penetapan Presiden RI No. 27 Tahun 1965. Kegagalan pemerintah mengatur masalah keuangan dan ekonomi negara disebabkan juga oleh tidak adanya kemauan politik dari pemerintah untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Misalnya, untuk menyelenggarakan proyek- proyek mercusuar seperti Ganefo (Games of the New Emerging Forces) dan Conefo (Conference of the New Emerging Forces), pemerintah terpaksa harus mengeluarkan uang yang setiap tahun semakin besar. Akibatnya, inflasi semakin tinggi dan hargaharga barang semakin mahal sehingga rakyat kecil semakin sengsara.
c. Dalam bidang perdagangan dan perkreditan luar negeri
Negara Indonesia yang agraris belum mampu memenuhi seluruh kebutuhannya. Hasil pertanian dan perkebunan yang dihasilkan memang dapat dijual ke luar negeri melalui kegiatan ekspor. Kegiatan perdagangan luar negeri ini bertujuan untuk menghasilkan dan meningkatkan devisa. Devisa inilah yang kemudian dipakai untuk membeli barang- barang kebutuhan dari luar negeri yang belum bisa dihasilkan sendiri dalam negeri. Untuk menjaga dan mempertahankan neraca perdagangan luar negeri yang sehat, Indonesia harus meningkatkan ekspor supaya devisa semakin bisa ditingkatkan. Jika terjadi bahwa devisa yang dihasilkan dari kegiatan perdagangan luar negeri tidak mampu menutupi seluruh biaya impor barang kebutuhan, pemerintah “terpaksa” membuat utang luar negeri melalui kredit-kredit yang dikucurkan negara donor.
Dalam hal kredit luar negeri inilah Indonesia dapat terjebak dalam keputusan politik berpihak pada blok tertentu yang sedang bersitegang, entah itu Blok Barat (negara-negara demokrasi Barat) ataupun Blok Timur (negara-negara komunis). Misalnya, melalui Government to Government (G to G), pemerintah RI dan RRC mengadakan hubungan dagang yang menguntungkan kedua negara. Indonesia mengekspor karet ke RRC, tetapi dengan harga yang sangat rendah. Karet tersebut tidak langsung dikirim ke RRC, tetapi justru diolah terlebih dahulu di Singapura menjadi bahan baku yang selanjutnya diekspor Singapura ke RRC. Tentu Singapura yang menerima keuntungan lebih besar dibandingkan Indonesia. Lebih menyakitkan lagi, kapal-kapal yang membawa karet dari Indonesia hanya berhenti di wilayah teritorial Singapura. Karet- karet tersebut ditampung di kapal lain yang sudah siap membawa ke Singapura. Sementara kapal- kapal dari Indonesia meneruskan perjalanan ke Hongkong atau RRC sambil membawa karet yang sudah diolah di Singapura dan dijual dengan harga yang lebih mahal. RRC kemudian mengolah bahan baku karet dari Singapura tersebut menjadi ban dan barangbarang lainnya lalu diekspor ke Indonesia. Celakanya, barang-barang yang diekspor RRC ke Indonesia itu dijual sangat mahal dan diperhitungkan sebagai bantuan luar negeri. Hubungan perdagangan semacam ini sangat merugikan Indonesia, karena Indonesia tidak punya pilihan lain selain menjual karet ke RRC. Ini terjadi karena pemerintah RI memilih masuk dalam blok RRC dan blok negara komunis. Contoh lainnya, untuk membiayai proyek-proyek yang sedang dikerjakan dalam negeri, Presiden/ Mandataris MPRS mengeluarkan Instruksi Presiden No. 018 Tahun 1964 dan Keputusan Presiden No. 360 tahun 1964. Isi dari instruksi presiden dan keputusan presiden itu adalah ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan Dana-Dana Revolusi. Dana Revolusi tersebut pada awalnya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferrend payment (impor dibayar dengan kredit karena tidak cukup persediaan devisa). Dalam praktiknya, barang-barang yang diimpor dengan system kredit itu adalah barang-barang yang tidak member manfaat bagi rakyat banyak karena merupakan barang mewah atau barang perdagangan lainnya.
Akibat kebijakan luar negeri yang semacam itu, utang-utang negara bertambah besar. Sementara itu, ekspor barang ke luar negeri semakin menurun. Devisa negara juga semakin menipis. Oleh karena itu, sering terjadi bahwa beberapa negara tidak mau lagi berhubungan dagang dengan Indonesia karena utang-utangnya tidak dibayar. Di dalam negeri, situasi keuangan yang buruk ini mengganggu produksi, distribusi, dan perdagangan. Masyarakatlah yang akan mengalami kerugian dari praktik perdagangan dan perkreditan luar negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berakhirnya Demokrasi Terpimpin

Berakhirnya Demokrasi Terpimpin berarti juga berakhirnya kekuasaan presiden Seokarno digantikan dengan Orde Baru dibawah kepemimp...